Tradisi Jawi di Kepri yang Kini Mulai Dilupakan

Tradisi Jawi di Kepri yang Kini Mulai Dilupakan

Kalau sekarang kita nulis pakai huruf latin di HP atau laptop, beda banget sama zaman dulu di Kepulauan Riau. Orang-orang Melayu zaman dulu nulisnya pakai aksara Jawi, yaitu huruf Arab yang dimodifikasi biar cocok buat bahasa Melayu. Penulisan Jawi ini bukan cuma dipakai buat nulis surat kerajaan atau kitab agama aja, tapi juga buat sastra, pantun, sampai catatan harian. Tradisi ini berkembang pesat terutama di Pulau Penyengat, yang waktu itu jadi pusat budaya dan pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga. Nah, blogkepri kali ini bakal ngebahas lengkap gimana sih sebenarnya tradisi menulis Jawi di Kepri zaman dulu. Mulai dari siapa aja yang nulis, di mana mereka belajar, sampai kenapa Jawi bisa bertahan cukup lama sebelum akhirnya digantikan huruf latin.

Jawi itu apa sih sebenarnya?

Jawi itu adalah aksara Arab yang dimodifikasi supaya bisa menyesuaikan dengan pengucapan bahasa Melayu. Jadi misalnya, huruf p atau g yang nggak ada di huruf Arab asli, ditambahin simbol atau variasi khusus biar bisa mewakili bunyi itu. Jawi ini dulu jadi sistem tulisan resmi di kerajaan-kerajaan Melayu, termasuk di Kesultanan Riau-Lingga. Bukan cuma buat urusan kerajaan, tapi juga jadi sarana utama buat komunikasi tertulis di masyarakat. Jadi, kalau zaman dulu ada orang nulis surat pribadi, ngisi buku catatan, atau bikin pantun, mereka pakai Jawi. Ini kayak “font default” orang Melayu sebelum datangnya huruf latin. Dan karena tulisannya pakai gaya Arab dari kanan ke kiri, orang harus belajar khusus buat bisa baca dan nulis Jawi dengan lancar.

Siapa aja yang nulis pakai Jawi?

Yang nulis pakai Jawi itu nggak cuma bangsawan atau ulama, lho. Banyak masyarakat biasa yang juga bisa nulis Jawi, terutama mereka yang belajar di surau atau madrasah. Di Pulau Penyengat, misalnya, hampir semua orang yang belajar agama otomatis juga belajar nulis Jawi karena kitab-kitab pelajaran ditulis dalam aksara ini. Perempuan juga nggak ketinggalan, karena di Penyengat perempuan udah belajar baca-tulis dari dulu. Selain itu, penulis-penulis besar seperti Raja Ali Haji, Raja Ahmad, sampai Engku Puteri Hamidah, semua meninggalkan karya dalam tulisan Jawi. Jadi bisa dibilang, Jawi itu bagian penting dari kehidupan literasi masyarakat Kepri dulu, bukan cuma alat nulis, tapi juga simbol identitas budaya.

Di mana orang dulu belajar Jawi?

Tempat belajar Jawi zaman dulu biasanya di surau, madrasah, atau rumah-rumah guru agama. Di Pulau Penyengat sendiri, banyak rumah yang difungsikan sebagai tempat ngaji sekaligus belajar menulis. Orang-orang belajar dari kecil, biasanya dimulai dari belajar baca Al-Qur'an, terus lanjut ke kitab-kitab berbahasa Melayu yang ditulis dalam Jawi. Karena hurufnya mirip Arab tapi pengucapannya beda, butuh waktu dan kesabaran buat bisa mahir. Menariknya, banyak guru-guru di Kepri waktu itu ngajarin murid pakai sistem hafalan dan tulis tangan berulang-ulang. Buku tulis mereka waktu itu dari kertas buatan sendiri atau kadang daun lontar. Jadi jangan bayangin ada buku cetak ya, semua masih manual dan personal banget cara belajarnya.

Karya-karya penting yang ditulis dalam Jawi

Salah satu karya paling terkenal dari Kepri yang ditulis dalam Jawi adalah *Gurindam Dua Belas* karya Raja Ali Haji. Karya ini ditulis tangan dengan huruf Jawi dan berisi nasihat kehidupan yang masih relevan sampai sekarang. Selain itu, ada juga *Tuhfat al-Nafis*, yaitu semacam catatan sejarah yang sangat penting buat memahami peristiwa di dunia Melayu, khususnya Kepri dan sekitarnya. Naskah-naskah ini disalin berkali-kali oleh tangan-tangan terampil, dan sampai sekarang masih bisa ditemukan di museum atau koleksi keluarga bangsawan. blogkepri mencatat bahwa penulisan Jawi waktu itu bukan cuma buat dokumentasi, tapi juga jadi cara masyarakat mengekspresikan pikiran dan perasaan, kayak sekarang kita bikin caption panjang di Instagram.

Kenapa Jawi perlahan ditinggalkan?

Masuknya Belanda ke wilayah Kepri dan sistem pendidikan kolonial membawa perubahan besar, termasuk dalam hal bahasa dan tulisan. Sekolah-sekolah Belanda mulai mewajibkan huruf latin dalam pelajaran. Lama kelamaan, orang-orang muda mulai lebih terbiasa dengan tulisan latin karena dipakai di buku pelajaran, surat resmi, sampai koran. Jadinya, generasi berikutnya makin jarang yang belajar Jawi. Akhirnya, tulisan Jawi pun mulai jarang dipakai, kecuali untuk urusan agama atau tradisi khusus. Meski begitu, sampai tahun 1940-an masih ada yang pakai Jawi, terutama di lingkungan pesantren dan keluarga bangsawan. Sayangnya, seiring waktu, makin sedikit yang bisa membacanya, apalagi menulisnya.

Peran Pulau Penyengat sebagai pusat Jawi

Pulau Penyengat itu bisa dibilang kayak “kampus budaya” pada masa kejayaan Kesultanan Riau-Lingga. Banyak tokoh intelektual lahir di sana, dan salah satu hal yang sangat ditekankan adalah kemampuan menulis Jawi. Di pulau kecil itu, anak-anak diajari sejak dini buat menguasai bahasa dan tulisan. Raja Ali Haji sendiri dikenal bukan cuma sebagai penulis, tapi juga guru yang ngajarin murid-murid nulis dengan Jawi secara tertib dan benar. Makanya, banyak naskah Jawi asli dari Kepri yang ditulis dengan rapi, indah, dan penuh perhatian terhadap bentuk huruf. blogkepri melihat Pulau Penyengat bukan cuma penting secara sejarah, tapi juga sebagai simbol semangat literasi lokal yang luar biasa.

Ada yang masih pakai Jawi sampai sekarang?

Walaupun sekarang udah jarang dipakai sehari-hari, penulisan Jawi masih dilestarikan oleh beberapa komunitas budaya dan pesantren. Ada juga lomba-lomba menulis Jawi yang diadakan oleh dinas kebudayaan atau lembaga pendidikan di Kepri. Bahkan, beberapa sekolah di Tanjungpinang dan Karimun sudah mulai mengajarkan Jawi lagi sebagai muatan lokal. Selain itu, kaligrafi Jawi juga masih bisa kita temukan di masjid-masjid tua atau hiasan rumah adat. Yang paling keren, beberapa anak muda Kepri mulai tertarik belajar Jawi untuk bisa membaca naskah kuno. Ini menunjukkan bahwa meskipun tergerus zaman, Jawi tetap punya tempat di hati masyarakat yang peduli sama sejarahnya.

Kenapa kita perlu mengenal tulisan Jawi lagi?

Mengenal Jawi bukan cuma soal bisa baca tulisan kuno atau gaya-gayaan doang. Tapi ini soal kita ngerti siapa kita, dari mana asal-usul budaya kita, dan bagaimana orang zaman dulu berpikir. Banyak nilai, adat, dan sejarah yang terekam dalam tulisan Jawi. Kalau kita gak ngerti, bisa-bisa sejarah itu hilang karena gak ada yang bisa baca. blogkepri pengin ajak pembaca buat ngelihat Jawi bukan sebagai hal kuno yang udah gak penting, tapi sebagai warisan yang justru makin berharga di zaman sekarang. Karena dari tulisan, kita bisa mengenang masa lalu dan belajar banyak buat masa depan.

Membahas mengenai Kepri dan Sekitarnya